Tor Tor dan Kenikmatan Berprasangka

18 Juni lalu di TvOne Indiarto, sang anchor mewawancarai Pak Hasibuan. Dalam wawancara itu, Bung Indi mempertanyakan soal mengapa komunitas Mandailing mendaftarkan Tor-tor menjadi warisan budaya Malaysia. Pak Hasibuan selalu menjawab dengan bahwa seni Tor-tor bukan didaftarkan agar menjadi milik Malaysia, namun didaftarkan sebagai seni yang eksis dipraktikan oleh warga yang tinggal di Malaysia, yakni warga Mandailing. Namun, rasanya prasangkan terhadap Malaysia selalu mendahului fakta-fakta yang terjadi.

Mari kita bayangkan, jika kita, urang Sunda, tinggal di Perancis dan membawa serta kesenian yang lahir di tanah air kita ke sana, memainkan degung atau kacapi suling di sana. Dan ketika jumlah kita makin banyak, maka kita mendaftarkan seni degung itu ke pemerintah Perancis agar mendapatkan pengakuan sebagai seni yang eksis di tanah air Perancis. Kemudian pemerintah Perancis memberikan ruang bagi urang Sunda membuat pertunjukkan, dan seni nyunda dikenal di Perancis bahkan Eropa. Akankah kita menuduh Perancis mencuri seni Budaya kita?

Dalam kasus Tor-tor, orang Indonesia tampak selalu dihantui prasangka terhadap Malaysia. Benih prasangka ini telah puluhan tahun dijejalkan pada pikiran bangsa Indonesia. Kini, tanpa logika yang jernih prasangka itu secara mudah menyentuh emosi bangsa Indonesia. Kini, rasanya sisi emosional yang penuh prasangka terhadap malaysia itu dimainkan oleh media massa di Indonesia. Media massa Indonesia terlihat mengumbar prasangka buruk itu, merepetisi kejadian yang telah lalu bahwa Malaysia pencuri budaya Indonesia, sehingga fakta, data atas kejadian dilupakan: bukan berita!

Apakah ini cara media massa di Indonesia berlomba-lomba menjadi nasionalis?

Bagaimanapun, keterangan pihak Komunitas Mandailing dan konsul Malaysia mengenai tari Tor-tor tidak bisa kita tuduh sebagai pengklaiman. Masalahnya mungkin adalah prasangka buruk kita yang terus direpetisi direproduksi dan dikomodifikasi oleh bangsa kita sendiri, terutama oleh pelaku media massa.

Problem Nasionalitas

Nasionalisme selalu mengandaikan adanya perbedaan yang tegas antar bangsa. Perbedaan antar bangsa ini seakan betul-betul ada karena kita membayangkan teritori antar bangsa yang juga tegas terpisahkan. Padahal teritori itu sendiri adalah suatu yang abstrak, hanya ada di dalam peta, dan abstraksi peta ini eksis dalam imaji kita. Dampaknya, apa yang lahir dari tanah air yang dalam teritori bernama Indonesia haruslah milik Indonesia, tidak boleh milik negara lain. logika nasionalisme mengatakan demikian.

Sementara logika yang lain, yang digunakan oleh komunitas Mandailing adalah logika etnisitas. Komunitas etnis bisa ada di mana saja meski berasal dari suatu negara bernama Indonesia. Ikatan komunitas ini lebih kental daripada ikatan nasional. Misalnya ketika orang Sunda ada di Amerika, jika ada kesempatan memperkenalkan budaya Indonesia maka secara spontan kita akan memakai budaya Sunda, karena itulah budaya yang kita alami dan kuasai. Budaya etnis bersifat genealogis, turun temurun. Sementara budaya nasional lebih ideologis, keberadaannya pada tubuh dan jiwa kita karena tempaan doktrin ideologi.

Kita bisa memahaminya dari paparan Pak Hasibuan yang mengatakan bahwa yang sedang diperjuangkan di Malaysia adalah Tortor Mandailing yang berbeda dengan tor tor lainnya di kebudayaan Batak. Sementara Bung Indi, menggunakan logika nasional. Ia bertanya: apakah tor tor Mandailing berbeda dengan Tortor yang yang kita kenal? Bung Indi hanya tahu satu Tor-tor. Dari pertanyaannya ia menyiratkan bahwa seakan Batak hanya punya satu tarian. cara pandang seperti ini umum ditemukan dalam logika nasionalisme, seperti jika kita buka buku Atlas nasional maka kita hanya akan menemukan satu tarian, satu busana, satu rumah yang mewakili sebuah etnis. Nasionalisme mengandaikan semua etnis bisa direduksi menjadi sesuatu yang simpel dan semuanya untuk tujuan nasional: tujuan menjadi pembeda dengan negara yang lain.

Padahal, suatu etnis bisa bermigrasi dari satu tempat ke tempat lain. dari suatu negara ke negara lain. Dan migrasi itu membawa serta ekspresi etnis itu. Lihat betapa kejawaan Suriname sampai sekarang terjaga. Dan kita bangga dengan itu. Bahkan banyak musisi tradisional Jawa yang dapat keuntungan dari perkembangan budaya Jawa di Suriname. Bayangkan juga jika seni-seni tradisi dari berbagai etnis di  Indonesia berkembang di negara maju macam Perancis atau Amerika Serikat, kita pasti bangga banget dan akan banyak dapat untung. Namun, khusus untuk Malaysia tampaknya orang Indonesia akan lebih dahulu berprasangka buruk. Dan semua itu politis, dan kepala kita sendiri yang mempolitisir. Hmm… Namun sepertinya menikmatinya. Karena seakan kita menjadi lebih nasionalis dengan selalu berprasangka buruk terhadap Malaysia.

Leave a comment